Oke, ini saatnya lagu A Shoulder to Cry On-nya Tommy Page diputar
*kebiasaan dengerin lagu ini saat lagi galau :D
Lewat postingan kali ini aku ingin berbagi pengalaman pedih
(ci ileh) dalam mengejar mimpiku sebagai salah seorang (calon) penulis besar di
Indonesia. Penolakan. Oleh penerbit. Naskah ditolak *nangis kejer. Aku bagi dua
part postingannya. Untuk yang pertama ini aku akan cerita pengalaman secara
langsung. Untuk bagian kedua, aku akan beberkan gimana aku menghadapinya.
Let's begin ^^
Penolakan ini jelas lebih menyakitkan daripada ditolak cinta
*eh. Tapi serius, sakitnya tuh di sini *nunjuk dada :’(. Rasanya nggak
terbayangkan. Awalnya aku lagi ke luar rumah, eh aku lihat ada kiriman pos.
Setelah aku lihat, aku bingung. Dari penerbit di mana aku mengirim naskah. Aku
bawa masuk tanpa ada pikiran apa-apa.
Tapi begitu aku buka isinya... aku nge-blank. Ada naskah
yang aku kirimkan beserta surat yang menjelaskan bahwa naskahku ditolak. Oke,
aku ditolak. Oke nggak apa-apa. Setelah itu rasanya seperti melayang bebas,
nggak ngerasain apa-apa kecuali ... blank. Aku memang tipe orang seperti itu.
Reaksinya lambat, haha. Aku tetap melakukan kegiatan harian seperti nggak
terjadi apa-apa. Aku nggak mengacuhkan kiriman pos itu. Oke, aku ditolak. Itu
aja pikiran yang bersemayam di otakku waktu itu. Aku memikirkannya dengan cara
biasa-biasa aja. Seolah itu bukan masalah besar. Yap, memang selambat itulah
reaksiku menghadapi ... guncangan.
Setelah lewat setengah jam atau sejam (aku lupa), rasanya
nyesek, mau nangis tapi nggak bisa. Aku nggak ingin nangis saat itu. Oke, air
mata udah ngumpul di sudut mata, tenggorokan sakit, tapi air mata nggak tumpah keluar.
Aku berusaha mengalihkan pikiran, tapi tetap aja benda (baca: naskah) itu
selalu tertangkap oleh mataku. Yap, aku harap itu cuma mimpi, dan benda itu
bukannya ada di atas mejaku saat itu, tapi ada di meja editor, menunggu untuk
diedit. Aku lalu mencoba untuk mengedit benda itu, ingin mengirimkannya
sesegera mungkin, tak peduli editanku matang atau tidak. Aku hanya ingin
secepatnya mengirimkannya ke penerbit lain. Mengetahui bahwa naskahku akhirnya
diterima oleh penerbit lain adalah obat sesungguhnya bagikut. Aku tahu aku
gegabah, tapi aku merasa tak mampu melawan perasaan menyakitkan untuk terus
mengedit lalu mengirimkannya hari itu juga. Hari itu juga aku ingin mengirim
lagi ke satu penerbit, mencetak lagi dan mengirimnya ke penerbit yang lain
lagi. Aku hanya ingin naskahku diterima.
Nah, menjelang malam, baru kerasa sakitnya. Rasa sakit di
tenggorokan gara-gara nahan nangis terasa dua kali lebih berat. Kayak ada batu
besar mengganjal di sana dan terus bercokol di sana, menyakitkan setiap kali
aku menelan ludah.
Seperti kebiasaanku saat sedih, pilihannya ada dua. Dengerin
lagu sedih lalu nangis habis-habisan, atau nonton film/reality show komedi. Dan
kali ini, aku memilih yang kedua. Aku nonton reality show di laptop. Aku baca
cerita gaje cuma agar aku bisa ketawa habis-habisan dan lupa kalau aku masih
punya kesedihan yang mengganjal.
Di akhir hari itu aku, walaupun udah menyaksikan banyak
hal-hal lucu, aku tetap merasa sedih. Mungkin memang aku diberi kesempatan
untuk sepuasnya bersedih? Aku ingin memaksakan diri untuk mencari pengalih
perhatian tapi lalu setelah pengalih perhatian itu selesai aku jalani,
kesedihanku kembali.
I dedicated my life to it too! But in the end, it was pointless." -Aoyama Nanami, Sakurasou no Pet no Kanojo
We tear ourselves to shreds, but all that work’s for nothing. Hard work doesn’t pay off! – Kanda Sorata
Postinganku kali ini gloomy banget, ya? Dan ya ampun, aku akui terlalu jujur ya? Mungkin terdengar cengeng ... Tapi aku hanya ingin berbagi pengalamanku sebagai penulis pemula yang ditolak naskahnya saja, hehe.
Oke, untuk part 2, aku akan posting tentang apa yang
kulakukan untuk menghadapinya.^^
0 komentar:
Posting Komentar