RSS

Selasa, 17 Maret 2015

Menghadapi Penolakan Oleh Penerbit (1)



Oke, ini saatnya lagu A Shoulder to Cry On-nya Tommy Page diputar *kebiasaan dengerin lagu ini saat lagi galau :D

Lewat postingan kali ini aku ingin berbagi pengalaman pedih (ci ileh) dalam mengejar mimpiku sebagai salah seorang (calon) penulis besar di Indonesia. Penolakan. Oleh penerbit. Naskah ditolak *nangis kejer. Aku bagi dua part postingannya. Untuk yang pertama ini aku akan cerita pengalaman secara langsung. Untuk bagian kedua, aku akan beberkan gimana aku menghadapinya.

Let's begin ^^



Penolakan ini jelas lebih menyakitkan daripada ditolak cinta *eh. Tapi serius, sakitnya tuh di sini *nunjuk dada :’(. Rasanya nggak terbayangkan. Awalnya aku lagi ke luar rumah, eh aku lihat ada kiriman pos. Setelah aku lihat, aku bingung. Dari penerbit di mana aku mengirim naskah. Aku bawa masuk tanpa ada pikiran apa-apa.

Tapi begitu aku buka isinya... aku nge-blank. Ada naskah yang aku kirimkan beserta surat yang menjelaskan bahwa naskahku ditolak. Oke, aku ditolak. Oke nggak apa-apa. Setelah itu rasanya seperti melayang bebas, nggak ngerasain apa-apa kecuali ... blank. Aku memang tipe orang seperti itu. Reaksinya lambat, haha. Aku tetap melakukan kegiatan harian seperti nggak terjadi apa-apa. Aku nggak mengacuhkan kiriman pos itu. Oke, aku ditolak. Itu aja pikiran yang bersemayam di otakku waktu itu. Aku memikirkannya dengan cara biasa-biasa aja. Seolah itu bukan masalah besar. Yap, memang selambat itulah reaksiku menghadapi ... guncangan.

Setelah lewat setengah jam atau sejam (aku lupa), rasanya nyesek, mau nangis tapi nggak bisa. Aku nggak ingin nangis saat itu. Oke, air mata udah ngumpul di sudut mata, tenggorokan sakit, tapi air mata nggak tumpah keluar. Aku berusaha mengalihkan pikiran, tapi tetap aja benda (baca: naskah) itu selalu tertangkap oleh mataku. Yap, aku harap itu cuma mimpi, dan benda itu bukannya ada di atas mejaku saat itu, tapi ada di meja editor, menunggu untuk diedit. Aku lalu mencoba untuk mengedit benda itu, ingin mengirimkannya sesegera mungkin, tak peduli editanku matang atau tidak. Aku hanya ingin secepatnya mengirimkannya ke penerbit lain. Mengetahui bahwa naskahku akhirnya diterima oleh penerbit lain adalah obat sesungguhnya bagikut. Aku tahu aku gegabah, tapi aku merasa tak mampu melawan perasaan menyakitkan untuk terus mengedit lalu mengirimkannya hari itu juga. Hari itu juga aku ingin mengirim lagi ke satu penerbit, mencetak lagi dan mengirimnya ke penerbit yang lain lagi. Aku hanya ingin naskahku diterima.

Nah, menjelang malam, baru kerasa sakitnya. Rasa sakit di tenggorokan gara-gara nahan nangis terasa dua kali lebih berat. Kayak ada batu besar mengganjal di sana dan terus bercokol di sana, menyakitkan setiap kali aku menelan ludah.    

Seperti kebiasaanku saat sedih, pilihannya ada dua. Dengerin lagu sedih lalu nangis habis-habisan, atau nonton film/reality show komedi. Dan kali ini, aku memilih yang kedua. Aku nonton reality show di laptop. Aku baca cerita gaje cuma agar aku bisa ketawa habis-habisan dan lupa kalau aku masih punya kesedihan yang mengganjal.

Di akhir hari itu aku, walaupun udah menyaksikan banyak hal-hal lucu, aku tetap merasa sedih. Mungkin memang aku diberi kesempatan untuk sepuasnya bersedih? Aku ingin memaksakan diri untuk mencari pengalih perhatian tapi lalu setelah pengalih perhatian itu selesai aku jalani, kesedihanku kembali.

I dedicated my life to it too! But in the end, it was pointless." -Aoyama Nanami, Sakurasou no Pet no Kanojo
We tear ourselves to shreds, but all that work’s for nothing. Hard work doesn’t pay off! – Kanda Sorata

Postinganku kali ini gloomy banget, ya? Dan ya ampun, aku akui terlalu jujur ya? Mungkin terdengar cengeng ...  Tapi aku hanya ingin berbagi pengalamanku sebagai penulis pemula yang ditolak naskahnya saja, hehe.  


Oke, untuk part 2, aku akan posting tentang apa yang kulakukan untuk menghadapinya.^^


0 komentar:

Posting Komentar