Oke, melajutkan postingan lama (2 bulan lalu, hehe), aku
bakal cerita tentang proses menghadapi penolakan dari penerbit.
Kalau awalnya aku sedih, lama kelamaan, seiring berjalannya
waktu (ciileh), aku mulai sembuh. Emang bener kata pepatah, waktu menyembuhkan
hati yang luka. Kita perlu waktu sendiri, untuk sedikit demi sedikit menerima
kenyataan. Emang pahit, tapi kita harus menghadapinya. Cobaan memang diberikan
untuk menguji kita.
Aku masih tetap menulis. Itu harus. Itu mimpi terbesarku. Mimpi
yang aku tanam sejak dulu, yang aku beri makan dengan usaha dan waktu. Aku mendedikasikan
(ciileh lagi :D) diriku demi menulis. Kalau orang mempunyai mimpi besar, di
mana mereka meletakkan banyak harapan, mereka akan terus berusaha. Sampai titik
darah penghabisan. Kejar terus, seperti anak-anak di masa lalu yang mengejar
layangan sampai jauh. Menjadi penulis yang melahirkan banyak buku bagus adalah
layang-layangku. Aku harus terus mengejarnya, walaupun aku harus terus berlari
hingga letih, hingga sandal hilang (perumpamaan, oy! Hehe), dan hingga nafasku
habis.
OOT nih, aku kan suka Korea. Nah, saking sukanya aku sama
Korea, orang-orang terdekatku bilang:
Sampai segitunya suka sama Korea! Emang idola kamu nantinya notice kamu?
Nah, kurang lebih sama seperti menulis bagiku. Aku suka
menulis, sangat. Aku mencintai dunia tulis menulis. Sekali aku mencintai
sesuatu, cintaku dalam. Dan soal perumpamaan idola ... anggep aja itu metafora
buat masyarakat. Aku harap masyarakat suatu hari akan notice aku, terlebih lagi karyaku. Someday, they’ll recognize me
through my books.
Oke, cukup intronya, hehe. Aku kan mau cerita gimana aku
menghadapi penolakan oleh penerbit.